Satu persatu tokoh tinju profesional menghadap sang Khaliq. Kali ini Haji Abu Dhori, salah seorang pelatih tinju terbaik negeri ini, meninggal dunia Sabtu malam (5/6). Semasa hidup, Abu Dhori dikenal sebagai pelatih bertangan dingin yang mencetak petinju-petinju juara. Sebut saja Wongso Suseno, Thomas Americo, hingga Nico Thomas.
Nama besar Abu terlihat dari kedatangan pelayat yang silih berganti mendatangi rumah duka di Jl Bandulan IX/8 mulai Minggu pagi. Selain keluarga dan tetangga dekat, sebagian besar pelayat adalah para petinju, baik yang masih aktif maupun tidak.
Bahkan, beberapa petinju yang berdomisili di luar Malang juga menyempatkan hadir di rumah duka. Tujuan mereka hanya satu, memberi penghormatan terakhir bagi sosok yang mereka kagumi. Sosok yang dianggap sebagai guru bagi para petinju.
Abah atau Cak Abu, demikian Abu Dhori biasa disapa, meninggal di usia 68 tahun di rumahnya, pukul 21.00 Sabtu malam. Jenazahnya sendiri kemudian dimakamkan di TPU Bandulan kemarin pagi pukul 11.00.
Sri Handayani, sang istri mengungkapkan, beberapa tahun belakangan ini Cak Abu menderita penyakit stroke. Selama itu pula, Cak Abu sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Bahkan, selama dua bulan terakhir, Cak Abu terpaksa menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur. ”Abah juga tidak bisa berbicara,” ujar Sri.
Kondisi pria kelahiran Malang, 22 Desember 1944 itu semakin memburuk sejak Rabu lalu (1/6). Bahkan sejak Sabtu pagi, Cak Abu sudah tidak sadarkan diri. Atas saran dokter, dia hanya dirawat di rumah dengan bantuan infus. Hingga akhirnya pada pukul 21.00, Cak Abu menghembuskan nafas terakhir.
Sri mengaku ikhlas dengan kepergian suaminya. Meski begitu, dirinya sempat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah kepada suami, ketika sakit. ”Selama sakit, juga tidak ada orang KTI (Komisi Tinju Indonesia) yang datang ke sini. Apakah Abah sudah dilupakan? Tidak dianggap lagi seperti masa jayanya dulu,” kata Sri yang tak kuasa menahan air mata.
Untungnya, selama sakit itu, Tinton Suprapto, mantan pembalap nasional yang dikenal dekat dengan Abu Dhori berkali-kali membantu biaya pengobatan suaminya itu. ”Terakhir, Pak Tinton memberi uang untuk membeli kursi roda. Sayang, kursi roda itu belum sempat terpakai oleh Abah,” kata Sri sambil menunjuk kursi roda yang berada di salah satu sudut ruang keluarga.
Di mata keluarga, Cak Abu adalah sosok kepala rumah tangga yang baik sekaligus sosok pria yang patut diteladani. ”Terakhir yang saya ingat dari beliau, sekalipun kesehatannya memburuk, dia tetap menunjukkan semangatnya. Abah tidak ingin dianggap sakit oleh orang di sekitarnya,” kenang Sri.
Semangat yang tidak pernah padam itulah yang membuat Cak Abu menjadi sosok paling disegani di dunia tinju tanah air. Perjalanannya di dunia tinju sangatlah panjang. Dia pun telah mengukir tinta emas sepanjang perjalanannya itu.
Memang, sebagai petinju, prestasinya tidak terlalu mencolok. Cak Abu lebih dikenal sebagai petinju pasar malam. Ini karena pada dekade 60-an, pertandingan tinju banyak dihelat di pasar malam.
Kiprahnya diakui banyak pihak ketika menjadi pelatih tinju mulai tahun 70-an. Sejumlah sasana tercatat pernah dipegang oleh Cak Abu, mulai GTS (Gatot Subroto), Gajayana (1977-1986), Tons Co (1986—1990), PKT Bontang (1990-1994), hingga akhirnya mendirikan sasana sendiri, Dhori Gym, sejak 1995, di rumahnya.
Sebagai pelatih, Cak Abu berkali-kali mengantarkan anak didiknya menjadi juara. Bukan hanya juara nasional, tapi juga juara internasional. Satu nama yang patut dikedepankan adalah Wongso Suseno. Dia menjadi petinju pertama Indonesia yang menjadi juara kelas welter versi OPBF (Oriental Pacific Boxing Federation) pada 1975.
Bahkan pada 1976, Wongso melengkapi prestasinya dengan sabuk juara WBA Intercontinental. Tak kalah fenomenal adalah Thomas Americo. Setelah menjadi juara OPBF kelas welter yunior pada 1980, Thomas mencatatkan diri sebagai petinju pertama Indonesia yang menantang juara dunia pada 1981.
Kala itu, Thomas menantang juara dunia kelas welter junior WBC, Saoul Mamby. Pertandingan yang kala itu digelar di Jakarta juga tercatat sebagai pertandingan perebutan gelar juara dunia yang digelar kali pertama di Indonesia.
Seperti tak pernah terputus, belum habis era Thomas, muncul lagi Djuhari yang merebut sabuk juara kelas ringan OPBF di tahun 1983. Daftar nama itu juga terus bertambah, karena Cak Abu juga pernah memoles juara WBC Intercontinental dan IBF Intercontinental, Nurhuda. Kemudian ada nama-nama Nico Thomas, Hasan Ambon, Little Holmes, Solikhin, Kid Hasan, Ahmad Fandi, dan lain-lain.
Djuhari, salah seorang murid yang kemarin hadir di rumah duka mengaku sangat terkesan dengan sosok Cak Abu. ”Cak Abu itu sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan memarahi petinjunya yang malas latihan atau keluyuran malam,” kata pria yang tercatat sebagai PNS Dispenda Pemkot Malang ini.
Karena kedisiplinan dan ketegasannya, hampir tak ada satupun petinjunya yang berani membantah. ”Kami juga terkesima dengan wibawanya,” kata Djuhari.
Lain Djuhari, lain pula Ahmad Fandi, juara kelas bulu junior WBC Intercontinental antara 1998-1999. Fandi yang disebut sebagai ”produk” juara internasional terakhir Cak Abu itu punya kenangan tak terlupakan semasa dilatih Cak Abu.
Pada 1999, melawan Akbar Maulana, dirinya mengutarakan keinginannya untuk menyerah saat istirahat ronde kelima. ”Saya bilang, fisik saya drop,” ujarnya kepada Cak Abu kala itu. Tidak disangka-disangka, Cak Abu tiba-tiba menampar wajah Fandi.
Cak Abu bahkan berkata ”Kamu maju. Jangan menyerah,” tiru Fandi. Hebatnya, setelah tamparan dan kata-kata dari Cak Abu, dirinya justru semakin bersemangat. ”Saya tampil menggila, lawan saya pukul KO ronde tujuh,” ujar dia. Karena itulah, dia menyebut Cak Abu adalah pelatih terbaik yang pernah ditemui. ”Begitu pintarnya ia memotivasi petinjunya,” sambungnya.
Jika Fandi menyebut Cak Abu sebagai motivator ulung, Nurhuda justru terkesan dengan kecerdasan Cak Abu dalam mengatur strategi. ”Dia mampu menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan, plus menentukan strategi untuk memenangkan pertandingan,” kata pria yang lebih banyak dilatih oleh Wongso Suseno itu.
Tak hanya sebagai sosok hebat di dunia tinju, Cak Abu adalah panutan di luar ring. Ia dikenal sebagai sosok yang religius. Ali Aswad, mantan petinju yang dikenal dekat dengan almarhum, terutama menjelang akhir hayatnya, mengaku bahwa Cak Abu seringkali mengingatkan orang-orang terdekatnya untuk salat. ”Dia juga sering bilang, kamu jangan jadi orang yang sombong. Banyaklah beribadah,” kata dia.
Ali mengungkapkan, ada satu warisan Cak Abu yang juga tidak bisa dilupakan, yakni sasana Dhori Gym. Setelah sempat vakum selama beberapa tahun, Dhori Gym mulai menggeliat pada Agustus 2010 silam. Dan sepeninggal Cak Abu, dirinya lah yang dipercaya untuk mengelola Dhori Gym. ”Semua orang tahu, membawa nama Abu Dhori sangat berat. Tapi saya harus bisa mengemban amanah itu dengan baik,” kata dia.
Memang, Cak Abu telah pergi untuk selama-lamanya. Namun tidak demikian halnya dengan semangatnya, dedikasinya yang menjadi inspirasi banyak orang. Bahkan, kepergian Cak Abu harusnya menjadi tonggak untuk mengembalikan hingar-bingar dan kejayaan tinju seperti era 70-90an. Selamat jalan Cak Abu. (sumber:radar malang/jawa pos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar